Senin, 11 Maret 2013

♥ Terimakasih, Cinta Pertamaku ♥

Tittle: ♥ Terimakasih, Cinta Pertamaku ♥
Length: one shoot
Author: @yasmiin2805 from fanbase @Fanfict_XOIX





♥ Terimakasih, Cinta Pertamaku ♥
Untuk: @NRahmaaa_BAS7


25 Januari 2008.
Ruang inap Rumah sakit. Aku takut. Sudah 2 hari aku disini. Dari kecil aku paling ga suka dengan bau rumah sakit, apalagi membayangkan berada disini? Berniat membayangkannya saja, aku tak berminat. Untunglah, bunda dan Ayah selalu ada buat aku, selalu support aku, selalu sayang dan dukung aku, walaupun,, belum sekalipun aku melihat wajah mereka.
Ya, aku buta. Aku tak bisa melihat sejak aku lahir. Menurut dokter, ada syaraf di bagian kepala yang tidak berfungsi baik, dan akhirnya berakibat pada penglihatanku. Tapi aku tak pernah mau mengeluh dengan semua ini. Aku bisa hidup di dunia sampai sekarang saja, aku sudah sangat bersyukur. Bunda dan Ayah selalu mengajarkan aku indahnya bersyukur, dan sampai sekarang, aku selalu percaya, jika dengan bersyukur semuanya akan menjadi sempurna.


"Rahma, operasi kamu dikit lagi dilaksanakan. Kamu siap nak?" terdengar suara sendu yang sangat kukenal. Bunda.
"Rahma siap Bund. Rahma pengen liat wajah Bunda, Rahma pengen liat wajah Ayah, Rahma pengen liat dunia, walaupun sebenernya, Rahma udah sangat bersyukur dengan apa yang Rahma punya selama ini." aku menggenggam erat tangan bunda. Tangannya hangat, dan selalu bisa menghangatkan hati dan pikiranku.
Aku ingat, saat Bunda membantuku dalam membaca huruf braille sejak aku berusia 5 tahun. Aku juga fasih dalam memainkan gitar, dan itu berkat ajaran Bunda dan Ayah. Aku tak tau, apa yang mereka pertahankan dari bocah kecil sepertiku, namun aku sangat beruntung memiliki orang tua seperti mereka.
"ayah mana, Bund? Rahma dari tadi ga denger suaranya deh." aku mencari sosok pahlawanku yang satunya. Ah, tiba-tiba aku rindu belaian tangannya saat mencoba membuatku tertidur. Aku rindu suara beratnya saat membacakan dongeng sebelum aku tidur, aku rindu tangan besarnya yang selalu melindungiku dari bocah-bocah nakal yang sering mengejek kekuranganku ini.
"Ayah, ehm, dikit lagi dia kesini kok. Ayah abis meeting, jadi agak lambat. Kamu sabar yaa sayang.." tutur Bunda. Aku mengangguk pelan.
Entah mengapa, dalam hati kecilku, aku merasa ganjal. Sejak kemarin ayah sibuk mengurusi bisnisnya, sampai-sampai dia tak ada waktu untuk menjagaku. Terkadang, samar aku mendengar suaranya sekelebat di telingaku, namun kemudian hilang begitu saja. Aku benar-benar rindu ayah.


"maaf, nyonya Raisa ya? Ibunda dari Rahma? Suami dari pak Alwin?" tanya seseorang dari sampingku, suster sepertinya. Ia menyebut nama ayah dan Bundaku.
"iya, saya Sus. Ada apa ya?" tanya Bunda.
Aku hanya menerka-nerka apa yang terjadi selama dialog itu. Sepertinya, bunda sedang membicarakan tentang prosedur operasi yang akan aku jalankan siang ini. Mendadak, keringat dingin membasahi tubuhku. Aku takut, aku gugup. Ayah juga, mana lagi! Aku benci ditinggal seperti ini oleh ayah. Masa ayah lebih pentingin kerjaannya dibanding aku, anaknya sendiri. Aku benci ayah, aku ga mau ketemu ayah!
"Rahma., kamu kenapa? Panas ya? Kenapa keringetan gitu sayang?" Bunda panik. Ia mencoba mengelap keringat yang membasahi wajahku dengan tissue lembut.
"ayah mana, Bund? Kenapa dia belum dateng? Ayah masih meeting? Sebenernya anaknya ayah itu Rahma atau kantornya sih?!" tanyaku lagi, kesal.
Terasa pelukan hangat Bunda menyelimuti tubuhku. Ya, Bunda selalu punya cara untuk menenangkanku. Kali ini, aku menangis di peluknya. Lamaa sekali aku menangisi ayah. Bukan, bukan karna aku benci padanya. Saking aku merindukannya, aku sampai benci. Aku benci dengan kerjaan ayah yang selalu padat. Aku ingin bersama ayah lagi, aku rindu.
"Rahma sayang, percaya deh sama Bunda. Ayah pasti dateng kok, tenang aja. Minimal, pas operasi kamu selesai, pasti ayah udah ada di samping kamu deh. Yang penting, kamu fokus dulu sama operasinya. Kamu inget kan, besok hari apa?" ujar Bunda sambil mengelus lembut rambutku.
Aku mencoba mengingat tanggal. Hari ini 25 Januari, berarti, besok itu... "26 Januari, ulang tahun Rahma Bund! Ah, Rahma baru inget." bibirku tersungging lebar. Aku memutar memoryku jauh ke belakang, saat ulang tahunku yang ke-9 tahun lalu, ayah memberikanku sebuah buku bacaan, tentu saja dengan huruf Braille didalamnya. Ayah memberiku se-rak penuh, dengan harapan aku tetap dengan hobby lamaku, yaitu membaca. Aku sadar, semua kerja keras ayah, dilakukan semata untuk membiayai aku dan bunda. Aku tak berhak marah pada ayah hanya karna hal sepele ini. Toh pasti ayah sudah memperhitungkan baik-baik semuanya. Aku yakin, ayah pasti datang. Sebentar lagi dia pasti datang.


"Bunda, bilangin sama ayah, Rahma minta maaf. Tadi Rahma kesel sama ayah gara-gara ayah belom dateng. Bilangin saya ayah, Rahma sayang ayah. Rahma sayang Bunda juga." Bunda mengecup keningku lembut. Aku suka dengan kelembutan dan ketabahan Bunda. Ayah sangat beruntung memiliki pendamping seperti Bunda. Begitupula Bunda, beliau merupakan wanita yang paling beruntung karna bisa memiliki pasangan hidup seperti ayah.
"Rahma. Kalau kamu sudah bisa melihat, jangan kaget ya lihat wajah bunda. Bunda ga secantik yang kamu bayangkan." ujar Bunda sesaat sebelum aku dimasukkan kedalam ruang operasi.
Aku menggeleng cepat. "ga kok Bund, Bunda adalah wanita tercantik yang Rahma tau. Begitu juga ayah. Ayah adalah lelaki tertampan buat Rahma.Rahma malah bangga sama Ayah dan Bunda. Kalian inspirasi Rahma, kalian idola Rahma yang sesungguhnya." aku mencoba meraba wajah lembut Bunda. Basah. Bunda menangis lagi rupanya.
"Bunda, tiap bunda nangis, Rahma pasti selalu merasa bersalah. Bunda jangan nangis dong, Rahma ga mau bikin Bunda sedih." aku menghapus perlahan airmata Bunda. Walaupun aku tak bisa melihat, namun aku tau, wajah Bunda sangatlah cantik, apalagi tanpa airmata. Dan aku ga mau airmata itu melunturkan wajah ayu milik Bunda.
"Bunda ga nangis kok. Bunda cuma terharu, dikit lagi, anak Bunda yang satu ini bisa melihat dunia. Nanti, kalau kamu udah bisa melihat terangnya duniamu ini, kamu harus gunain mata itu dengan baik. Gunain untuk yang bermanfaat buat kamu, buat yang berguna." nasihat Bunda. Aku mengangguk pasti. "iyaa Bund, tenang aja. Aku akan turutin nasihat Bunda kok."


Sepuluh menit kemudian, suster yang tadi berbicara dengan Bunda masuk lagi ke dalam ruanganku. Sepertinya operasi pencangkokan mataku akan segera dimulai. Aku makin gugup saat tempat tidurku terasa bergerak maju, meninggalkan ruang rawatku. "aku takut, Bund. " ucapku pelan. Aku masih menggenggam erat tangan Bunda. "Bismillah, sayang. Operasinya pasti berjalan sukses." bisik Bunda. Sepanjang perjalanan menuju ruang operasi, bibirku tak henti-hentinya mengucap Basmallah. Begitu pula Bunda. Telingaku bisa menangkap suara Bunda yang terus memanjatkan doa untuk keberhasilan operasi perdanaku ini.


Terdengar pintu dibuka. Aku tau, aku telah berada di ruang operasi. Bunda sepertinya tak ikut masuk. Aku ga tau, aku bisa kuat atau engga di dalam sini. Aku butuh bunda, aku butuh Ayah.
Telingaku samar mendengar suara peralatan dihidupkan. Aku tak tau, peralatan apa saja itu. Yang jelas, semua suara-suara yang menggema di telingaku semakin membuat jantungku berdegup kencang. Bismillah, semoga operasi ini berjalan dengan baik. Aku ingin melihat Bunda, aku ingin melihat ayah.
"Rahma, operasi penerimaan donor mata buat kamu akan segera dimulai, dan kamu akan kita bius. Udah baca doa?" tanya seorang bapak, sepertinya ia adalah dokter yang akan memimpin jalannya operasiku. Aku mengangguk. "saya selalu berdoa, dok."
"yaudah, Sus, kita mulai operasinya."
Aku merasakan tangan kananku disuntik. Sakit rasanya. Mungkin, itu adalah obat bius yang akan membuatku tak sadar selama operasi ini. Perlahan, aku merasa mengantuk. Obatnya mulai bekerja.
"pak Alwin, anda siap mendonorkan mata anda untuk putri anda?"
Apa? Suara siapa itu? Aku, aku ga salah denger? Aku memang mengantuk, Kesadaranku mulai berkurang. Tapi rasanya aku ingin tetap sadar. aku masih ingin mendengarkan percakapan dokter itu dengan orang yang akan tidur di ranjang sebelahku, sepertinya dia yang akan mendonorkan matanya untukku. Tapi, apa aku ga salah denger tadi? Pak Alwin? Ayah?
"saya siap dok. Silahkan,mulai operasi ini. " suara terakhir yang aku dengar, dan meyakinkanku, itu suara ayah. Suara yang kurindukan. Setelah itu, Aku tak sadarkan diri.


~~~~~~~~~~~

26 Januari 2013
Sudah 5 tahun berlalu setelah operasi itu, namun wajah bunda tetap saja cantik. Guratan tipis di wajahnya hampir nampak, tapi semua itu tertutupi dengan senyum manis dan ayunya. Aku selalu suka senyum Bunda., senyum yang akhirnya bisa aku lihat, setelah 10 tahun lamanya aku tak dapat membayangkannya. 5 tahun belakangan, aku selalu memandangi wajah Bunda, bahkan saat ia tertidur sekalipun.
Alhamdulillah, operasiku berhasil. Aku bisa melihat lagi. Semua berkat ayah, pahlawanku. Ayah, lelaki pelindungku. Ayah, cinta sejatiku.
"Rahma, hari ini ngajar lagi?" tanya Bunda itu berhasil membuyarkan lamunanku akan 5 tahun yang lalu.
"iya Bund. Hari ini Rahma mau sekalian ngerayain ulangtahun Rahma di tempat Rahma ngajar. Untung aja ngajarnya sore, jadi ga ngeganggu sekolah Rahma." kataku sambil membereskan peralatan mengajarku sore itu. Beberapa buku bacaan bertuliskan huruf Braille, yang dahulu diberikan ayah saat umurku beranjak 9 tahun, yang sampai sekarang masih tersimpan rapi. Sudah saatnya aku memberikannya kepada yang lebih membutuhkan. Murid-muridku.
Teman-teman baruku, yang nasibnya sama denganku, 5 tahun lalu.
Aku kini ikut membantu mengajar di Yayasan Suka Rela yang didirikan warga sekitar. Yayasan tempat berkumpulnya anak-anak tidak mampu agar bisa ikut mengenyam bangku pendidikan, seperti anak-anak pada umumnya. Tidak, aku tidak mengajar anak-anak biasa. Aku mengajar anak-anak luar biasa, khusus tuna Netra. Aku mengajarkan mereka membaca, seperti yang pernah ayah dan Bunda ajarkan ke aku sewaktu kecil. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan padaku, kesempatan saat aku bisa melihat dunia. Dan kini, aku akan membaginya pada adik-adik kecil itu.
"selamat ulangtahun, Rahma. Bunda bangga punya putri semulia kamu." Bunda mencium kedua pipi dan keningku, lalu memeluk erat tubuhku.
"terimakasih Bunda. Rahma juga bangga punya Bunda yang tabah seperti Bunda." aku membalas dekapan hangat Bunda.
"Yaudah Bund, Rahma udah telat nih. Ntar sepulang Rahma ngajar, kita makan bareng ya Bund." aku mencium tangan bunda, dan bergegas menuju tempatku mengajar.
"Rahma.." panggil Bunda sesaat. Aku menoleh. "iya Bund?"
"jangan lupa ketemu ayah ya." Bunda mengecup keningku sekali lagi. Aku mengangguk. "Rahma emang berniat ketemu sama ayah kok. Sebelum ke tempat ngajar, Rahma ke makam ayah. Rahma mau ngucapin terimakasih ke ayah, karna udah rela ngorbanin hidupnya untuk Rahma. Ayah udah rela ngorbanin organ penting ditubuhnya untuk Rahma, sampai Rahma bisa melihat lagi. Sayang ya Bund, operasi pengembalian Kesadaran ayah gagal, sampai ayah harus...." aku tak sanggup melanjutkan ucapanku. Aku memeluk erat Bunda sekali lagi, wajahnya telah basah dengan airmata, seperti diriku.
"udah, jangan nangis." Bunda menghapus airmata di wajahku, sementara aku menghapus airmata di wajah bunda. "ayah pasti bangga, pengorbanannya ga sia-sia. Sekarang, datengin ayahmu. Minta doa restu buat kerjaan mulia kamu." sekali lagi, Bunda mengecup pelan keningku, dan mempersilahkan aku untuk pergi menuju makam ayah.

Ayah, cinta pertamaku. Terimakasih, ayah. Aku, selalu, cinta.

~ selesai ~


Tak peduli seberapa besar cinta yang diberikan kekasihmu untuk dirimu, yang harus kamu tak ada yang bisa mengalahkan cinta sejati orang tua terhadap anaknya.
Berterimakasihlah pada cinta pertama kalian, orang yang selalu memberi tanpa kalian minta, orang yang selalu sayang tanpa batas, orang yang tak pernah meminta imbalan sepeserpun dari segala yang mereka berikan, termasuk hidup mereka. Orang tua kita.
Love you ♥ ♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar