Senin, 11 Maret 2013

DARE!

Tittle: DARE!
Length: one shoot
Author: @milmilaherviana


DARE!

Isak tangis mengiringi berlalunya roda-roda kecil yang siap membawa dua korban pembunuhan ke dalam ruang UGD. Banyak darah bercucuran dipakaian yang tengah mereka kenakan. Sesampainya dipintu UGD,Dokter Hendra menyarankan agar menunggu diluar ruangan.Darena Softa,Nicky dan Kiki yang tengah menangis pun menuruti dan menunggu kondisi dari kedua orang tuanya itu.
"Ini, gila! Argh!"erang Nicky sembari memukul bogemnya pada tembok.
"Harusnya kita gak telat dateng,"ucap Kiki lalu berjongkok dan bersandar pada tembok lalu meremas rambutnya.
"Kita harus balas dendam," amarah Darena.
"Ren, yang kamu hadapi itu bukan temen-temen sekolah kamu yang usil. Ini beda, mereka ingin bunuh keluarga kita, understand? You can death!" cegah Nicky sembari memegangi kedua pundak Darena dan menatap matanya yang penuh duka.
"Trus? Kita harus diem aja gitu nunggu mati? Hah! Gak ada perlawanan sama sekali?" lawan Darena.
"Balas dendam itu gak baik, dan gak akan selesain masalah. Justru tambah masalah, kamu mau dipenjara, dek?!"
Ucap Kiki menghampiri mereka.
"Kita balas pake cara lain!" tegas Darena.
"Re, ada polisi yang bakal urus, kita tinggal tunggu hasil." Kata Nicky melepaskan tangan dari pundak Darena.
"Hellow kakak kakaku?! Penjahat itu kabur, kita nunggu mereka ketangkep sedangkan mereka lagi nyusun rencana buat bunuh kita. Waw, kita harus diem gitu? Gak!" tegas Darena.
Nicky dan Kiki saling pandang, mata mereka seperti berkata 'ada benernya juga'. Kemudian tiga Polisi datang menghampiri mereka. Budi, Iras dan Lee.
"Maaf mengganggu diskusi kalian sebentar. Ada yang ingin kami tunjukan dari beberapa bukti yang ditemukan. Mari ikut kami." Ucap Budi. Kemudian para pria yang entah kebetulan memakai pakaian serba hitam itu berlari menuju mobil polisi diluar. Sedangkan Darena memilih menunggu dokter. Tak lama dokter keluar dari ruang UGD, Darena langsung menghampirinya, "gimana orang tua saya, dok?" tanyanya, panik.
Dokter Hendra menghembuskan nafas kemudian geleng-geleng kepala dan menepuk pundak Darena,"maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi.. peluru itu tepat mengenai syaraf-syaraf inti pada otak, jadi... Tapi, ini sudah jalan Tuhan, dek. Tabah yaa,"
Darena sudah bercucuran air mata, kemudian ia lari masuk ke dalam ruang UGD. Dokter melihatnya iba dari luar UGD. Darena menangis diantara kedua orangtuanya yang sudah terkujur baku. 'Gue harus balas!' Gumamnya dalam hati kemudian berlari ke luar dan menarik tangan Dokter Hendra yang sedang berdiri, "antar saya, dok!" ucapnya. Dokter muda Hendra hanya menuruti. Dan sampai diparkiran mereka pun melaju dengan mobil Hendra. Mereka ngebut menuju rumah Darena. Darena bawel mengarahkan jalan dengan panik. Sesampainya di rumah Darena, gadis tomboy itu berlari ke dalam rumahnya. Gendra pun keluar dari mobil dan memerhatikan sekitar. Garis Polisi mengelilingi gerbang rumah mewah itu. Mobil polisi dimana-mana, kerumunan warga yang menonton, dan sore itu sangat gelap dan berangin tak enak menembus kulit. Ia pun menyusul ke dalam rumah mewah itu.
"Jadi.. disini ada satu pistol yang tertinggal, kita bakal cari tau dengan sidik jari dipistol ini. Dan, disini ada surat yang berisi ancaman, sebaiknya kalian tidak tinggal disekitar daerah sini. Cukup bahaya." Kata Lee sembari menunjukkan pistol dan surat yang sudah dibungkus plastik putih yang besar. Nicky dan Kiki mengangguk, lemas.
"Kalian banyak berdo'a ya, semoga mereka cepat tertangkap." Sambung Iras.
"Kak.." Darena berdiri 5 langkah dari mereka. Mereka melirik pada Darena yang juga tengah menangis.
"Re," Nicky menghampiri diikuti Kiki.
"Bunda.. Ayah.. Meninggal, kak." Pecah sudah air mata Darena. Nicky meneteskan air mata kemudian memeluk Darena. Kiki pun begitu. Mereka larut dalam duka. Ketiga Polisi, Hendra, juga warga menyaksikannya iba. Padahal mereka adalah keluarga yang harmonis dan penuh humor. Tapi, cobaan kini menimpa, dan semua itu karena tiga orang tak dikenal yang mererobos masuk rumah saat ketiga anaknya tengah berjalan-jalan dan keduanya orangtuanya sedang tidur siang.
Ketiga orang pria berpakaian serba hitam dan wajahnya tertutupi kupluk itu langsung mengepung kedua orang tuanya dan memaksa memberikan sertefikat rumah mewah itu. Namun, setelahnya mereka menembak dua orang tak bersalah itu hingga tewas ditempat. Ketiga anaknya sempat memergoki, namun terlambat tiga orang misterius berpakaian serba hitam itu terlanjur pergi lewat belakang. Dan tiga orang anak itu telat memanggil polisi. Dan, kehilangan jejak. Kiki segera menghubungi Ambulance, dan serentak datang bersama polisi. Kemudian Polisi segera mengecek rumah dan petugas Ambulance membawa kedua orang tua Nicky, Kiki dan Darena ke rumah sakit bersama tiga anaknya itu.
Begitulah kronologi kejadian ini.
"Benar kata kamu. Kita harus balas, Re." Kata Nicky.
"Kita gak bisa tinggal diam kayak gini." Tambah Kiki.
"Besok, setelah pemakaman, kita harus susun rencana." Ucap Darena. Mereka pun menghampus air mata mereka.
"Kami turut berduka. Jika kalian butuh bantuan, silakan datang ke kantor. Kami pun akan selidiki lanjut kasus ini. Kami pamit, ingat, usahakan tempat tinggal sementara jauh dari sekitar daerak ini." Ucap Budi. Nicky, Kiki dan Darena pun mengangguk, "makasih." Ucap Nicky tersenyum paksa. Ketiga Polisi gagah itu pun mengangguk kemudian berlalu diikuti Polisi lainnya. Warga pun bubaran. Hendra menghampiri Nicky, Kiki, Darena.
"Kalian tinggal dirumah saya saja, cukup jauh dari daerah ini. Mari," ia pun berlalu tanpa menunggu respon dari Dokter Hendra yang masih mengenakan jas putihnya.
Nicky, Kiki, dan Darena pun tanpa berkata-kata langsung mengikuti Hendra. Mereka hanya bisa diam. Perasaan mereka terlalu gado-gado. Marah, sedih, berduka, bingung, heran, penasaran, lengkap jadi satu.
Mereka pun berlalu memakai mobil hitam Hendra. Sesampainya dirumah Hendra, mereka diberi 2 kamar untuk beristirahat. Mereka masih dalam duka, dikamar pun hanya diam. Hendra pun tak bisa menolong apa-apa lagi.
***
Keesokan harinya,selesai pemakaman yang penuh haru,mereka bertiga kumpul diruang tamu untuk berdiskusi. Hendra pun tetap menjalani tugasnya sebagai dokter seperti biasa.
*
Mereka bertiga berpakaian serba hitam.Sehitam suasana hati mereka.
"Surat ancaman itu rese. Mereka pikir kita takut apa. Ngancam bakal diteror kalau kita lapor Polisi. Basi." Dumel Darena.
"Udah, Re. Kita pikirin cara supaya dapet jejak mereka dimana." Kata Nicky.
"Kita harus mancing mereka supaya dateng lagi," saran Kiki.
"Setuju, Ki. Eh, tunggu.. Gue yakin mereka itu suruhan seseorang yang ingin rebut hak cipta rumah kita." Ucap Nicky.
"Nick, De, ortu kita punya hutang kan rama pak Subroto? Partner Ayah, dan.. Udah dua kali keluarga kita belum bisa lunasi hutang yang tinggal seratus juta itu. Gak menutup kemungkinan Pak Subroto nyuruh anak buahnya buat rebut sertifikat rumah dan bunuh kedua orangtua kita," selidik Kiki.
"Setau gue, anak buahnya itu namanya... Alwin, Agoy, Bobby. Apa mereka ya?" duga Kiki.
"Nah, bisa jadi. Body mereka pun sama kaya Alwin, Bobby, Agoy. Basecamp mereka ya di kantor Pak Subroto." Jawab Nicky.
"Dan, orangtua kita gak mungkin sedangkal itu ngasih Sertifikat penting keluarga ke orang tak dikenal sekalipun ditodongi pistol. Bisa aja Sertifikat itu foto copyan, mereka kan belum cek karna keburu kita pergok. Dan sekarang kita balik ke rumah ngambil Sertifikat asli, ke Polisiin supaya kita dapet toleransi. Gimana?" usul Darena sembari mondar mandir didepan Nicky dan Kiki yang tengah "Mikir gak sih? Penting apa bunuh ortu kita cuma karena hutang? Toh ortu kita gak pernah hutang nyawa juga sama Pak Subroto." Kata Darena sembari menatap kedua kakaknya tajam dari sofa yang letaknya di depan Nicky dan Kiki.
"Mereka juga bakal bunuh kita bertiga, dan sekarang kita harus pikirin cara buat jebak mereka supaya kepergok polisi." Tegas Kiki sembari berdiri.
"Orangtua kita gak sedangkal itu ngasih Sertifikat rumah, bisa aja yang mereka kasih cuma fotocopyan. Dan Alwin, Agoy, Bobby belum sepet cek asli atau cuma fotocopyan karena keburu kita pergok. Dan sekarang, saatnya kita balik ke rumah dan ambil Sertifikat yang asli keburu mereka duluin," terang Nicky sembari berdiri dan merangkul Kiki yang penuh dengan emosi.
"Oke.. Ayo." Angguk Kiki.
"Aku ikut!" cegat Darena didepan Nicky dan Kiki. Mereka saling pandang.
"Kamu cewek berumur 16 tahun. Gak sepantasnya kamu ikut, terlalu bahaya. Ini bukan melawan cowok usil yang godain kamu, tapi ini menyangkut nyawa. Udah mending kamu tunggu Dokter Hendra, Re." Larang Nicky sambil mengelus gadis tomboy itu.
"Kak, aku terlahir dengan nama DARE!! Dan aku berani hadapi masalah ini apalagi, ini menyangkut nyawa Bunda sama Ayah! Dan aku gak boleh diam, aku harus ikut bertindak sekalipun aku mati!" tegas Darena penuh emosi dengan tatapan dan intonasi bicaranya yang tajam.
"CK, de. Kakak, sama Kak Nicky, masih mampu. Ini cuma ngambil Sertifikat dan kasih itu ke Polisi buat barang bukti. Kaka khawatir kalau kamu ikut." Jelas Kiki sambil memegang kedua tangan Darena.
Darena melepaskan genggamannya, "gak, kalau kalian tiba-tiba ditembak dan kalian... Argh pokoknya aku ikut! Aku punya sejuta trick, kak. Please izinin aku ikut." Mohon Darena.
"Gak! Kamu tunggu disini! Jangan ngebantah, ini demi kebaikan kamu ngerti Re!" bentak Nicky, Darena tertunduk. Nicky memang sangat menakutkan saat marah, karena dia tak terbiasa marah. Ketika ia marah, orang-oramg disekitarnya akan diam tak berkutik. Begitu pun Darena, ia diam ditempat setelah kedua kakaknya berlalu.
Darena sempat melihat Kiki yang meliriknya dari belakang. Namun cepat kilat Nicky dan Kiki berlalu. Darena menatap perginya mereka yang menaiki mobil kedua Hendra yang dipinjaminya jika ada hal penting. Darena terdiam di teras rumah mewah Hendra bercat putih itu.
'Gue gak bisa tinggal diam. Gue harus balas. Eng, mereka bunuh ortu gue pasti ada maksud. Hm, gue tau nih.' Batin Darena kemudian menutup kepalanya dengan jilbab segi 4 warna hitam, memakai kaca mata hitamnya kemudian menelfon seseorang, "Halo? Kak Budi?"
***
Nicky dan Kiki mengendap-endap menuju lantai 2 dengan sangat hati-hati. Mata mereka mengedar ke penjuru rumah yang penuh dengan kenangan, melihat foto-foto yang terpampang di dinding, membuat mereka berkaca-kaca. Kebahagian dalam suka duka, kini tinggal kenangan. Siapa yang tak sakit hati orangtua dibunuh secara keji? Dendam mereka pun semakin besar. Mereka membuka pintu kamar kedua orangtuanya. Dan mulai menggeledah ke lemari, laci juga tas.
"Nick, biasanya orangtua nyimpen surat penting dimana yah?" tanya Kiki sembari menggeledah laci.
"Kalau gak laci, tas, atau yaa lemari," jawab Nicky sembari mengangkat kasur.
"Trus lo ngapain angkat kasur?" tanya Kiki heran melihat Nicky.
"Yaaa, kali aja kan.." kata Nicky, wajahnya terlihat polos menatap Kiki. Dan itu membuat Kiki terkekeh, "sempet-sempetnya muka lo lawak banget disaat moment kaya gini," ucapnya. Nicky menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari tersenyum.
Kiki pun menghampiri Nicky dan menunjukkan sesuatu dari saku celananya, "kemaren gue beli kalung dan gelang samaan, dan gue pengen ini penanda kebahagiaan kita gak akan berakhir walau orangtua kita meninggal dan keluarga kita kaya gini. Gue pengen kita sama-sama pake, tapi kalau gue mati karna mereka udah ada disekitar sini, gue pesen, jaga Darena Softa. Dia bukan cewek biasa. Dan gue yakin dia jadi gadis yang sukses kalau dijaga ekslusif sama lo. Kalian Xtra Ordinary. Percaya gue," kata Kiki. Nicky heran.
Nicky menatap kalung dan gelang perak itu.
"Lo pengen mati? Nyusul orangtua kita yang masig pengen liat kita bertiga bahagia didunia? Lo gak bisa gitu, kita gak boleh nyerah. Sekalipun itu hal yang mustahil, tapi kalau hati dan diri kita yakin dan percaya,kita pasti bisa asal kita berdo'a dan bersungguh-sungguh,kita punya Tuhan yang melindungi kita.Tuhan udah atur semuanya sebaik mungkin.Oke?" Nasehat Nicky dari hati.Kiki termenung,ia menggenggam kalung dan gelang itu kuat,lalu menyimpannya didalam sakunya.
Kiki menatap Nicky, "Dare!" ucapnya tegas sembari tersenyum. Nicky tersenyum kemudian memeluk Kiki sejenak sembari menepuk punggungnya sejenak kemudian melepaskannya dan mengacungkan bogem, "gitu dong! Dare." Ucapnya, mereka pun tos bogem seperti tokoh Pahlawan dalam kartun Spongebob Squarpants.
"Cari lagi," ajak Kiki, mereka pun mulai bergerak lagi. Tapi...
"Nyari ini?" kata seorang tiba-tiba sembari mengacungkan surat.. Sertifikat rumah yang... Asli. Nicky dan Kiki melongo, "Alwin?!" kompak mereka berdua.
Alwin yang berpakaian serba hitam sangatlah terlihat seperti orang yang pengen dijambak rambut merahnya dan ditendang dari Sabang sampai Marauke. Kemudian dari sisi kanan dan kiri Alwin muncul Bobby dan Agoy memasang tampang paling songong nan belagu dengan tatapan mata tajam. Nicky dan Kiki pun menghampirinya tak kalah tajam tatapan dan raut wajah mereka, tangan mereka pun terkepal kuat. Sampai jarak 30 cm diantara mereka...
"Kita bisa serahin Sertifikat rumah itu secara baik-baik, gak perlu pake cara ngebunuh orangtua kita, mau lo apasih?! Hancurin keluarga kita? Hah?!" emosi Kiki mulai tak terkendali.
"Sayangnya, nyawa kedua orang tua kalian menyimpan harta buat kita bertiga yang gak punya apa-apa, oh, gue lupa, nyawa mereka juga bakal jadi harta melimpah buat kita. Yegak, Goy?" kata Bobby dengan belagunya.
"Yoi, dan para Polisi itu juga gadungan. Hahahaa, sekarang, tinggal beresin kalian bertiga, dan Pak Subroto bakal kasih segalanya. Termasuk sembunyiin kita ke luar Negeri. Alwin, tunggu apalagi.." Kata Agoy sembari kompak menyodorkan pistolnya bersama Bobby dihadapan Nicky dan Kiki yang mulai emosi dan wajah memerah. Alwin melipatkan kedua tangannya didada sembari tersenyum licik.
Nicky dan Kiki saling pandang, bersamaan Agoy dan Bobby yang mulai menekan pistolnya. Kemudian dengan cepat Nicky dan Kiki kompak sedikit berteriak lalu menendang tangan Agoy oleh Nicky dan Bobby oleh Kiki.Pistol itu terpental ke atas dan terjatuh.
Dengan cepat Nicky dan Kiki mengambil pistol itu dan balik menyodorkannya pada ketiga orang itu yang tampak gugup kecuali Alwin. Nicky dan Kiki berjalan mundur dan masih menodongkan pistol itu setelah melewati tiga orang itu, mereka pun bersandar pada pagar besi yang tingginya sedada mereka. Alwin, Bobby, dan Agoy mulai panas. Bobby dan Agoy berancang-ancang untuk melawan.
"Loncat ke bawah dan ambil gerakan salto," bisik Kiki.
"Hah? Mau patahin tulang?" heran Nicky.

"Gak, Nick. Dibawah sofa, lo taukan Sofa kita empuk pake banget," intruksi Kiki.
"Oke," angguk Nicky.
"Itu pistol mainan," kata Alwin mencegah Bobby dan Agoy.
"Hah?!" Agoy tak percaya.
"Trus kita bunuh mereka pake apa? Gigi? Hewan kali, Win." Kata Bobby.
"Lama-lama kalian yang gue bunuh. Itu trick gue supaya mereka takut ataub nyerah, kita bunuh mereka pake pisau! Mana pisau kalian? Cepat lempar ke mereka!" koar Alwin. Dengan sigap Bobby dan Agoy mengambil pisau dari tempat dicelananya.
"Loncaaat!!" teriak Kiki. Kiki dan Nicky pun loncat dan HAP! Sampai di sofa dengan tepat. Mereka sedikit memantul saat tubuh mereka tepat terjatuh di sofa.
Jleb!
Mata mereka berdua melotot ketika pisau tertancap di kepala sofa tepat dihadapan mereka saat menengok. Nafas mereka tak teratur, mereka pun melirik ke atas.
"Sial!! Cepat kejar!" koar Alwin. Mereka bertiga pun turun dari atas dengan cara yang sama, loncat. Mereka pun sempat terlibat pertarungan singkat dan Nicky dan Kiki berhasil keluar rumah.
Mereka bertiga pun keluar rumah, di halaman depan rumah, mereka saling berhadapan dengan berjarak 3 meter. Nafas mereka tak terkendali. Alwin pun tiba-tiba mengeluarkan pistol dan menodongkannya, "kalian harus mati, gak ada toleransi. Gue gak mau hidup susah!" ucapnya.
"TERLAMBAT!!" teriak seseorang. Nicky dan Kiki berbalik, "Darena.." gumamnya kompak. Kemudian para Polisi bermunculan dari setiap sudut dan mengepung. Ketiga Polisi inti itu menghampiri.
"Kalian pikir kami mudah terpengaruh dengan uang haram kalian itu, heuh." kata Iras.
"Kita juga bisa nipu seperti kalian," sambung Budi.
"Bos kalian sudah kami tangkap." Tambah Lee. Seluruh pandangan mengarah pada sosok bapak-bapak yang sedang duduk didalam mobil menatap tajam dan dijaga oleh polisi.
"Harta gak menjamin segalanya. Gimana? Puaskah dengan kenekatan kalian nyari harta dengan jalan yang salah dan haram?" kata Darena dengan puasnya.
Bobby dan Agoy pun dibawa ke dalam mobil polisi, wajah mereka memucat.
Alwin tampak emosi, "kalian gatau kan ada diposisi gue gimana? Kejebak! Keadaan! Hah?! Dan kalian harus mati!!" Amuk Alwin kemudian menekan pistolnya tapi tak berhasil di tembakan karena kakinya terlanjur ditembak Polisi dari arah belakang, "aarrgh!" Alwin melemas dan terjatuh pun dengan pistolnya. Kemudian ia dibawa ke mobil dibantu rangkulan oleh dua Polisi.
"Rasain lo!" koar Kiki ketika Alwin melewati mereka dengan tatapan tajam namun wajahnya kesakitan.
"Terimakasih atas laporannya, tepat sekali mereka yang buronan eh malah ngajak kerjasama." Ucap Lee. Semuanya terkekeh.
"Sama-sama, tuan muda detectife." Ucap Nicky sembari tersenyum. Ketiga Polisi itu terkekeh.
"Sekali lagi terimakasih. Ohya, gadis pemberani ini benar-benar hebat." Puji Lee sembari megelus kepala Darena, ia pun tersipu.
"Untung dia segera lapor pada kami. Kalau tidak, pasti repot jadinya." Kata Budi. Membuat Nicky dan Kiki tersenyum kagum nan bangga pada Darena.
"Kalau begitu, kami pamit, kalau kalian sudah selesai berdiskusi, kalian menyusul ke kantor bersama Polisi lainnya, kami akan urus empat orang itu. Selamat siang." Ucap Iras kemudian berlalu diikuti Budi dan Lee.
Nicky, Kiki dan Darena berterimakasih dan melihat tiga polisi itu berlalu. Polisi yang lainnya masih mengeksekusi lokasi itu. Para warga pun dibuat hah-heh-hoh-apa-hah-masa dengan kondisi itu.
Ketiga saudara itu saling tersenyum.
"Kakak-kakakku yang ganteng nan pemberani ini bener. Aku gak boleh bertindak pake fisik. Karena sekuat-kuatnya tenaga seorang perempuan, tak sekuat tenaga laki-laki. Dan untungnya aku cewek yang cer~dik,"
kata Darena berbangga diri.Nicky dan Kiki terkekeh.
"Iyaa, makasih yah adekku yang Xtra Ordinary unyuu.." kata Kiki sembari mencubit pipi Darena yang cubby itu,"ish,sakittt.." Darena manyun.Nicky hanya terkekeh.
"Ohya,kakak punya sesuatu buat pengikat kita supaya tetap utuh kekeluargaan kita.Ini cuma symbol.Kalau ilang atau rusak gakan ngefek kok.Nih kakak pasangin,nih Nick, pasang sendiri,wohooo,hahahaa," kata Kikidengan candanya.Darena tertawa.Nicky hanya terkekeh.Mereka pun sudah memakai gelang dan kalung pemberian Kiki di leher juga tangan mereka.
Darena tiba-tiba mengerutkan kening, "loh? Aku baru sadar pinggr bibir kalian berdarah? Trus, mem..ar ih, kok bisa?" Darena meraba wajah kedua kakaknya itu.
"Biasalah, cowok.." ucap Nicky melirik pada Kiki. Darena memahami, "coba kalian jalan," titah Darena. Kaki Kiki dan Nicky terasa kaku, mereka terbata.
"Tuhkaaan," khawatir Darena.
"Udahlah, ini efek loncat dan kaget. Hey, Re. Pokoknya kita harus jaga kekompakkan kita dan jadi keluarga yang akur. Kita harus bersyukur masih diberi hidup sama Tuhan. Jadi, kita harus tetap besyukur dan berdo'a semoga orangtua kita mendapatkan tempat paling indah disisi Tuhan, syurga. Amin." Ucap Nicky menenangkan.
"Amiiin.." Kata Kiki Dan Darena.
"Kesempurnaan suatu keluarga, ada pada saat mereka saling mendo'akan, saling support juga selalu sharing dan jaga kekompakan dan musti akur." Tambah Darena.
"Keluarga adalah segalanya." Ucap Kiki, mereka pun berpelukan penuh haru.
"Hhh, hhh.. Kalian gapapa kan?" kata Hendra tiba-tiba sambil ngosngosan, jas putihnya tampak kusut.
"Eh, dokter. Kita gapapa kok. Nih, My Brother Super Herous aja yang agak memar dan kaku." Kata Darena.
"Tadi saya mencari kalian dirumah gak ada, yaudah obatin aja dirumah saya. Eh, eeeu, maaf nih, kalian kan belum ada tempat tinggal sementara, gimana kalau kalian tinggal di rumah saya dulu? Saya bosen tinggal sendiri."Tawar Hendra.
"Beneran,gapapa?" tanya Nicky.Hendra mengangguk pasti dan tersenyum manis.
"Okeee," kompak Nicky, Kiki, dan Darena.
"Anggota keluarga baruu," kata Darena. Semuanya terkekeh.
Mereka pun berjalan beriringan saling rangkul ke mobil Hendra dan menuju kantor Polisi untuk memberi keterangan. Dan rumah itu akan tetap jadi milik mereka bertiga. Nicky dan Kiki agak pelan berjalan. Tapi tampak kebahagian dari mereka. Para Polisi masih mengeksekusi. Dan dari satu sudut tampak sepasang orangtua yang tengah tersenyum melihat mereka berempat. Kemudian hilang. Yap, empat orang dengan rasa penuh kekeluargaan. Berkeluarga yang kompak dan akur itu indah, kan? Kekurangan itu akan menjadi kelebihan jika kita atur semuanya dengan baik. Percayalah, keberanian harus dilandasi dengan kecerdikan. Karena nekat tanpa modal itu percuma. So, jadilah orang yang berani cerdik dan penuh kelembutan,karena kelembutan terkadang bisa meluluhkan. Tergantung kita yang menjalaninya.

***

Selesai...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar